Senin, 9 mei 2011
“Kamu tau sendiri universitas sekarang sudah ketat, dan gak bisa lagi menunda pembayaran lebih dari waktu yang ditentukan. Jadi ya sudah tidak bisa… Kalo belum bayar paling kamu dicutikan, dan harus ngurus surat aktif kuliah lagi. Nanti uang sks-nya dikembalikan”
07.00 WIB
Pagi ini aku bangun dengan rasa semangat. Karena akhirnya aku mendapatkan uang dari hasil kerjaku untuk melunasi cicilan UPU Universitas. Aku menyiapkan makan pagi untuk keluargaku, hanya tiga porsi… karena ibuku sedang pulang kampung. Menjenguk nenek yang sedang dalam keadaan tidak baik kondisi kesehatannya.
Aku mempersiapkan segalanya, termasuk uang dan surat perjanjian yang sudah di tandatangani. Tertera “akan dilunasi pada tanggal 4 Mei 2011”. Memang aku agak telat dalam membayarnya, tapi fakultas pasti selalu tidak mau tau berapapun uang yang aku miliki dan aku kumpulkan. Mereka tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Huft… memang nasibku sebagai orang yang tidak mempunyai apa-apa dalam hidup. Sehingga selalu saja tidak berani meminta, meminjam, maupun mengambil tanpa seijin uang yang mereka (orang tua, saudara) miliki. Sempat terpikir pada tanggal 2 Mei 2011, aku ingin meminjam uang milik teman dekatku sebesar Rp. 400.000,- untuk melengkapi uang yang sudah aku kumpulkan untuk membayar kuliah. Dan akan melunasinya akhir bulan Juni… tapi harus aku maklumi, sebagian besar dari mereka adalah anak kost yang bergantung pada uang orang tua. Dan menunggu kiriman uang yang mengalir dari mesin yang dapat memuntahkan uang, serta bisa tetap menikmati uang saku jajan mereka. Sementara aku…?
Aku berangkat pukul 07.32 dengan kendaraan gerobak roda duaku. Berharap jalanan tidak macet, dan masih tetap bisa mengikuti kuliah. Walaupun cuaca dipagi hari sudah sangat panas, aku tetap berangkat dengan mata yang masih sedikit mengantuk, karena pekerjaan yang dapat membiayaiku semalam.
Sayangnya kondisi jalan sangat macet, lebih dari puluhan mobil memenuhi badan jalan, dan beberapa angkot yang mencerminkan Indonesia Banget, memenuhi sisi jalan. Berjejalan dengan bus kota yang ingin mendapatkan penumpang juga dalam perjalanannya. Aku tetap mengendarai kendaraanku dengan kecepatan 40Km/jam, dan sampai kampus pukul 07.52 WIB.
08.15 WIB
Aku sampai di kampus, tepatnya lab radio yang selalu aku jadikan markas ketika aku sedang mengisi waktu kosong atau menunggu kuliah. Sekilas aku melihat temanku berjalan melawan arah yang berlawanan dengan arah kampus. Aku memanggilnya dan menanyakan tentang perkuliahan hari ini. Ternyata mereka sedang melakukan praktikum Jurnalisme Radio.
Aku diajak oleh salah seorang temanku, karena mereka kurang kendaraan untuk melakukan wawancara ke tempat tujuannya. Akupun menyanggupinya, dan ikut mengantarkan mereka dalam perjalanan.
Pengemis…
Gembel…
Anak-anak yang menjadi pengamen jalanan…
Hingga mobil-mobil mewah yang membawa rombongan orang berbagai usia berjejalan di jalanan kota Bandung, yang walaupun sudah diperbesar tetap saja mengalami penyempitan di bahu dan badan jalannya, karena penuhnya popularitas kaum elit yang tidak merata.
Tujuan awal, kami datang ke sebuah Sekolah Dasar Negeri elit diseberang Balai Kota. Hampir dari semua murid disini, berkendaraan mobil dan ditemani oleh para orang tua, yang masih terlihat muda karena terlindung make up yang tebal dan mahal. Sehingga usia para orang tua dari sang anak bisa tersamarkan. Dan hasil dari kunjungan ke SD ini adalah gagal…
Kami lalu melanjutkannya ke SD yang berada tidak jauh dari Kapolsek Bandung Tengah yang berada di tengah-tengah kota Bandung. Dan disini mereka bisa mewawancarai guru, kepala sekolah, murid, serta orang tua murid.
10.41 WIB
Kami tiba di Lab Radio lagi… dan temanku pergi mencari teman-temannya yang terpisah dan belum kembali ketempat dimana mereka harus menyelesaikan proses editing praktikum.
Aku masih bersemangat, sangat bersemangat. Karena dalam pikiranku saat ini, “akhirnya bisa ngelunasin juga kuliah di Smester 6, kalo gini strike dong dari smester 3 bisa bayar kuliah sendiri. Pak, aku gak akan putus kuliah ditengah jalan. Karena Allah selalu ngasih rezeki buat hambanya yang mau berusaha”, ucapan tersebut tergumam dari mulutku secara pelan dibarengi dengan senyuman kecil bangga.
Aku berlari menuju tempat pembayaran di lantai 3 gedung Universitas, dengan membawa surat perjanjian dan uang denda yang harus aku bayarkan nantinya. Karena aku tahu, peraturan yang semakin mutakhir akan semakin menyulitkan dalam hal toleransi, terutama untuk mahasiswa yang tingkat kecukupannya sangat butuh sepertiku.
Aku sedikit menahan napas dalam perjalananku ke gedung Universitas, dan hasil yang aku dapat…
“Ummm udah gak bisa de, coba langsung nemuin wakil dekan 2 aja buat konsultasi…”
Jawaban itu sedikit membuat semangatku Drop! Karena aku tahu seperti apa orang yang akan aku hadapi kali ini. Bahkan aku lebih baik melompat dari lantai 4 gedung fakultas daripada harus menghadapinya, aku sudah tau apa yang akan dikatakannya.
Aku tidak lagi berlari dalam perjalananku menuruni anak tangga yang berada di fakultas. Aku berjalan lemas dan tidak bersemangat untuk hal yang satu ini.
11.10 WIB
Aku kembali ke lab radio, dan meminta temanku Adit mengantarku ke fakultas untuk menemaniku bernegosiasi dengan yang terhormat. Namun apa yang sudah aku prediksi tidak pernah salah, “Kamu tau sendiri universitas sekarang sudah ketat, dan gak bisa lagi menunda pembayaran lebih dari waktu yang ditentukan. Jadi ya sudah tidak bisa… Kalo belum bayar paling kamu dicutikan, dan harus ngurus surat aktif kuliah lagi. Nanti uang sks-nya dikembalikan.” Beliau menyampaikannya dengan muka datar dan tanpa senyum, sekuat apapun aku memohon pasti permohonan itu hanya akan nampak sebagai mimic bodoh cengeng dihadapannya. Dan beliau langsung tersenyum lebar ketika mengangkat telepon dari seseorang (entah siapa ?) dan ucapan salam pamitkupun dihiraukan olehnya.
Aku berjalan pasrah…
“Cuti ???”
“Apa maksudnya Cuti? Bukannya aku udah nempuh setengah jalan perkuliahan yah??? Terus buat apa aku capek-capek nyari uang kalo akhirnya aku cuman disuruh Cuti?? Peraturan apa ini?? Aku malah lebih baik bayar denda daripada disuruh cuti, atau kasih aja langsung keputusan DO (Drop Out) buat aku. Daripada nyiksa mahasiswa miskin kaya aku dengan cara gini. Aku cuman mahasiswa yang lagi nyoba mandiri, dan bertahan buat menuhin keinginan orang tua buat dapet gelar Sarjana.”
“Apa emang keputusan bapak buat nyuruh aku berhenti kuliah dari semester 3 itu bener yaah?? Apa kata-kata bapak waktu itu emang seharusnya aku lakuin –‘kalo kamu udah gak mau nerusin juga gak apa-apa kok, jujur bapa udah gak sanggup buat biayain kamu. Kalo kamu mau keluar, terus langsung kerja juga gak apa kok bapa mah. Takutnya ngeberatin kamu aja, nyari uang sambil kerja’—… Kata-kata itu balik lagi ke memori aku yang udah aku ubah jadi semangat hidup. Dan sekarang ngejatohin aku lagi.”
Dalam benaku hanya dua pernyataan itu yang terus mengulang, aku sudah tidak bisa berfikir apapun lagi. Bahkan aku menilai peraturan hanyalah sebuah sistem yang dibuat tanpa rasa belas kasih dan pertimbangan, tanpa melihat latar belakang orang yang akan ditetapkan peraturannya. Peraturan bersifat Universal, dan semuanya diperlakukan sama. Cih!
11.25 WIB
Aku berjalan menuju Lab Fotografi untuk menyampaikan pesan yang diberikan kepada Adit.
Pintu tertutup dan aku membukanya perlahan, dan warga lab foto sedang melakukan makan bersama.
Raut wajahku tidak dapat disembunyikan, salah seorang dosen yang merangkap sebagai kasie lab fotografi bertanya tentang keadaanku. Aku sedikit menceritakannya, dan mereka menanggapiku dengan expresi kaget. Beberapa dari mereka bahkan mengucapkan “sayang banget dah setengah jalan harus cuti. Terus uang UKT-nya gimana?”
Huft… aku tidak dapat menjawabnya, aku hanya terdiam lemas dan ingin segera bertemu Wakil Dekan 1 saat ini. Sesaat sebelum aku beranjak pergi, kasie lab fotografi menyampaikan pesan yang sedikit membuatku terkejut, “kenapa dari kemarin-kemarin kamu gak bilang sama saya, biar saya bisa bantu pembayaran kamu. Kalo kaya gini kan sudah susah.”
“Astaga… saya sama sekali tidak pernah ada fikiran untuk merepotkan orang lain. Makannya aku gak pernah bilang sama bapa, atau siapapun. Aku sangat malu untuk menceritakan tentang kondisi keuanganku. Karena uang, dan ekonomi adalah masalah yang sensitif.” Aku berkata dalam hati sambil menahan bibir, supaya kata-kata ini tidak keluar.
Aku berjalan menusuri anak tangga turun menuju lantai 1 gedung fakultas untuk mencari seseorang yang aku pikir bisa sedikit membantuku. Dijalan menuju aula, sebuah suara menyapaku, “Kak Galiiih…” aku menengoknya dengan lemas, dan teramat sangat lemas ketika melihatnya bersama sesosok laki-laki yang sepertinya adalah seseorang yang sedang mendekatinya. “Hi Vie…” jawabku dengan lemas dan sangat ketakutan menghadapinya. Setelah dari hari itupun dia tidak mengucapkan “maaf” padaku atas apa yang kekasihnya perbuat…
Sudahlah…
Semua masalah ini membuatku ingin cepat berada dalam sebuah kotak hitam, dan di letakan di bawah tanah. Aku kembali ke Lab Radio dan diam sejenak, setelah itu aku pergi merenung ke suatu tempat…
13.00 WIB
Migrainku kambuh…
Aku ingin segera sampai rumah. Aku tidak ingin merepotkan warga lab dengan penyakit yang aku derita dari kelas 3 SD ini. Akupun segera meraih tas dan segala peralatannya, dan langsung bergegas menuju kendaraanku yang berada di belakang tempat parkir Lab.
Mataku mulai memburam…
Dan aku semakin cepat memacu kendaraanku, aku tidak ingin tumbang dijalan dan merepotkan orang banyak. Dan setelah sampai dirumah… “BRUG!!!”
14.34 WIB
Aku terbangun didalam rumah, tepat sebelum anak tangga pertama. Tidak ada yang luka, hanya bagian dadaku membiru karena sempat terbentur gagang kursi yang berada tepat berada dekat sekali dengan tangga.
Hari ini adalah pelajaran yang sangat berharga buatku. Bahwa sistem adalah sesuatu yang menggantikan kemanusiaan. Walaupun tidak semua sistem sama seperti itu, tapi inilah sistem yang sedang aku jalani saat ini.
Posting Komentar